"Kamu ingat aku, tidak, Yoshina?"
Sosok jangkung itu berbicara dengan suara mendayu seolah air sungai yang menenangkan berhulu dari mulutnya. Suaranya mengudara dengan cepat dan lancar tanpa hambatan, berhubung ruang kantor sedang sunyi di jam ini. Doctor si empunya nama pun mengangkat kepala, menatap langsung pada sepasang mata biru laut yang terang itu.
Doctor bergeming dan memperhatikan sosok itu. Seorang wanita bertanduk Sarkaz, mengenakan jubah hitam panjang seperti seragam Confessarius, tetapi dia ragu wanita ini adalah salah satu anggotanya. Tanduknya berwarna hitam legam dan bercabang banyak menyerupai sayap, laksana tanduk Succubus. Selain daripada itu, rambut ungunya yang panjang itu tergerai bebas mengikuti ke mana pun sang pemilik membawanya.
"Kamu tidak kenal aku." Seringai itu sedikit mengendur, tetapi matanya tetap terarah pada Doctor. "Kamu tidak ingat aku?"
"Maaf, tapi aku sedikit … susah mengingat masa lalu," ucap Doctor.
Wanita misterius itu pun cemberut. Dengan raut wajahnya yang penuh ekspresi, dia kini terlihat kekanak-kanakkan.
"Sayang sekali. Ternyata benar yang dibilang Kal'tsit." Wanita itu berjalan mendekat. "Kukira dia bercanda saat menyuruhku supaya lebih banyak diam di dekatmu."
"Apakah aku seharusnya ingat kamu?" tanya Doctor.
"Setelah semua yang kita lalui bersama, aku seharusnya tersinggung." Wanita itu berwajah sedih dan menggelengkan kepala. "Oh! Kita pernah saling mencinta … tidak, masih mencinta. Memikirkan semua momen yang kita habiskan bersama di bawah selimut malam yang gegap gempita, dengan taburan bintang yang berpendar meriah. Aku yakin masih ada cinta itu di dalam dadamu."
Doctor diam-diam tersentak dan mundur satu langkah, terkejut dengan bahasa "megah" yang digunakan wanita misterius itu. Untung saja wanita Feline itu menaikkan tudung jaketnya, jadi tidak ada yang bisa melihat mulutnya yang kini ternganga.
"Apa tidak pernah terlintas di dalam benakmu bahwa dulunya kamu pernah punya kekasih?" tanya wanita misterius itu. "Bahwa pernah ada bibir yang selalu kamu cumbu, mata yang selalu kamu puja, dan tangan yang kamu genggam erat seakan itulah satu-satunya hartamu? Meskipun entah bersembunyi di otak bagian mana semua bentuk cinta itu."
"Aku tidak yakin aku pernah punya pacar," gumam Doctor.
"Ah, masa! Kamu sendiri saja tidak yakin, bagaimana bisa kamu berani menyangkal ucapanku?"
Setelah Doctor tercenung beberapa saat, wanita itu kemudian tersenyum geli.
"Yoshina, oh, Yoshina. Sungguh nama yang unik. Setidaknya biarkan aku terus memanggil namamu seperti itu." Wanita berjubah hitam itu agak mengangkat dagu. "Kalau kamu memang tidak ingat, sekarang cobalah ingat namaku untuk seterusnya: namaku Rohana. Rohana, dia yang menyembuhkan dan mengorbankan."
Atmosfer sekitar terasa sedikit sejuk seusai Rohana berbicara. Wanita penuh karisma itu bersedekap dan diam mengawasi gerak-gerik Doctor, seolah mengharapkan respons tertentu. Sementara itu, Doctor memperhatikannya sekali lagi, mendapati bahwa senyum simpul yang khas itu telah kembali ke wajah sang wanita Sarkaz.
"Rohana …" Doctor mencoba mengecap nama itu di lidahnya. Ada perasaan menggelitik saat suaranya melantunkan nama itu, menandakan bahwa mungkin tubuhnya entah kenapa masih mengingat sosok ini. "Salam kenal, ya. Maaf, tapi aku akan berusaha ingat denganmu lagi."
"Harus itu!" Rohana lalu tersenyum lebar dan menyodorkan tangan kepada Doctor. "Yoshina. Apakah aku juga harus memanggilmu Doctor? Kuperhatikan semua orang di sini memanggilmu demikian."
Doctor menyambut tangan itu, di mana setelahnya Rohana mempererat genggaman tangan mereka, membuat Doctor bisa merasakan keras tulang tangan Rohana dan kekuatan yang bersembunyi di dalamnya — sesuatu yang primitif, seperti tidak berasal dari dunia ini, atau lebih tepatnya, dari zaman ini — sebelum wanita itu melepaskannya.
"Tidak harus, sih. Itu hanya julukanku di kapal ini," jawab Doctor dengan tenang, meski agak terkejut dengan semua perasaan ganjil itu.